BP2A2N: Dominasi Bisnis dan Dinasti Politik Percepat Krisis Demokrasi

Spread the love

KABUPATEN TANGERANG – Menjelang berakhirnya bulan Agustus, publik disuguhi gelombang kemarahan masyarakat yang meledak dengan sasaran simbol-simbol kekuasaan. Aksi massa terjadi mulai dari pembakaran rumah anggota dewan, perusakan kantor DPRD di berbagai daerah, hingga penyerangan markas kepolisian. Fenomena ini dianggap sebagai tanda runtuhnya legitimasi moral DPR di mata rakyat.

Padahal, belum genap satu tahun sejak pelantikan anggota DPR periode 2024–2029. Namun, realitas menunjukkan banyak anggota dewan justru tampil arogan, abai terhadap aspirasi publik, dan larut dalam lingkaran privilese.

Dominasi Pengusaha dan Dinasti Politik

Aktivis politik Kabupaten Tangerang, Ahmad Suhud, yang juga Direktur Eksekutif Lembaga BP2A2N Provinsi Banten, menilai akar persoalan ada pada dominasi pengusaha serta menguatnya politik dinasti di parlemen.

“Lihat akibat dominasi pengusaha di parlemen, muncul konflik kepentingan yang sangat nyata. Hal ini yang memicu konflik,” ujar Suhud saat ditemui awak media, Minggu (31/8/2025).

Mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW), Suhud menjelaskan bahwa 61% anggota DPR 2024–2029 memiliki keterkaitan dengan dunia usaha. Angka ini memperlihatkan betapa tingginya potensi konflik kepentingan, yakni situasi ketika pejabat publik memiliki kepentingan pribadi yang bisa memengaruhi kebijakan.

“Dalam praktiknya, konflik kepentingan sering membuat legislasi dan fungsi pengawasan DPR tidak berpihak pada rakyat, melainkan lebih condong pada kepentingan bisnis. Ini sebabnya publik menilai DPR lebih sibuk mengurus kepentingan ekonomi elite ketimbang memperjuangkan masyarakat kecil,” tegas Suhud.

Selain pengaruh pengusaha, dinasti politik juga semakin menguat. Berdasarkan kajian BP2A2N, sekitar 30% kursi DPR diisi anggota yang memiliki hubungan kekerabatan politik, berkisar antara 79 hingga 174 orang.

Fenomena ini, menurut Suhud, menggerus prinsip meritokrasi, yakni sistem yang menempatkan seseorang berdasarkan kapasitas, integritas, dan prestasi, bukan karena keluarga atau modal politik.

“Dampaknya jelas. Banyak legislator minim kapasitas kepemimpinan dan rekam jejak intelektual. Arogansi kekuasaan tumbuh, seolah jabatan adalah warisan. Sensitivitas sosial pun melemah, terbukti dari ucapan maupun kebijakan yang sering menyinggung publik,” tambahnya.

Krisis Representasi Rakyat

Dalam teori demokrasi, representasi adalah prinsip dasar yang menjamin rakyat memiliki wakil di lembaga legislatif. Namun ketika wakil rakyat lebih berpihak pada kepentingan pribadi dan kelompok elite, krisis representasi tidak terelakkan.

Krisis itu kini tampak nyata melalui peristiwa kerusuhan di berbagai wilayah:

1. Pembakaran gedung DPRD di sejumlah provinsi.

2. Penjarahan dan perusakan rumah anggota dewan.

3. Pembakaran fasilitas kepolisian setelah insiden yang memicu kemarahan warga.

 

Laporan media nasional dan internasional menyebutkan, kerusuhan ini memakan korban jiwa dan kerugian besar. Pemicu awalnya adalah kontroversi soal tunjangan pejabat publik, ditambah insiden penembakan warga sipil.

Bagi Suhud, kondisi ini adalah manifestasi delegitimasi, atau hilangnya legitimasi terhadap lembaga legislatif. Jika dibiarkan, dampak jangka panjangnya adalah erosi kepercayaan terhadap demokrasi, meningkatnya aksi politik jalanan, hingga radikalisasi tuntutan politik.

Revolving Door dan Gaya Hidup Elite

Ahmad Suhud juga menyinggung fenomena revolving door, yakni praktik keluar-masuknya figur dari dunia bisnis ke politik atau sebaliknya. Di DPR, banyak legislator juga berperan sebagai pengusaha.

“Akibatnya gaya hidup glamor, pamer kekayaan, dan sikap elitis kontras dengan penderitaan rakyat. Masyarakat marah bukan hanya karena kebijakan, tapi juga simbolisme. Wakil rakyat hidup jauh di atas rakyatnya, namun arogan ketika dikritik,” ujar Suhud.

Rekomendasi Reformasi

Untuk mencegah krisis semakin dalam, Suhud menekankan perlunya langkah cepat dan reformasi jangka panjang. Beberapa rekomendasi yang ia ajukan antara lain:

1. Penguatan Regulasi Konflik Kepentingan
Perketat larangan legislator merangkap jabatan di perusahaan atau bisnis yang terkait kebijakan publik. UU 30/2014 dan UU 28/1999 bisa jadi dasar penguatan.

2. Transparansi Aset dan Kepemilikan
Integrasikan LHKPN dengan register pemilik manfaat perusahaan sebagaimana diatur Perpres 13/2018 agar publik bisa melacak kepemilikan tersembunyi.

3. Reformasi Kaderisasi Partai Politik
Dorong partai menerapkan kaderisasi berbasis meritokrasi, bukan modal finansial atau hubungan keluarga.

4. Cooling-off Period
Terapkan masa jeda bagi pejabat publik sebelum kembali ke dunia bisnis untuk mencegah penyalahgunaan jabatan.

5. Penegakan Etik Transparan
Perkuat Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dengan kewajiban publikasi putusan secara terbuka agar rakyat bisa mengawasi.

 

Alarm Keras bagi Demokrasi

Suhud menegaskan, kemarahan rakyat adalah alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Kekerasan massa memang tidak dapat dibenarkan, namun pemicu strukturalnya tidak boleh diabaikan.

“Tanpa perubahan mendasar, siklus ini akan terus berulang: parlemen yang tidak mewakili rakyat, rakyat yang frustrasi, dan demokrasi yang rapuh. Reformasi menyeluruh adalah satu-satunya jalan mengembalikan DPR sebagai rumah rakyat, bukan kantor para pengusaha dan dinasti politik,” pungkasnya.

(Yanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *